Tampilkan postingan dengan label PERGERAKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERGERAKAN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Desember 2011

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL


Sedikit melirik siapa diri kita “mahasiswa” ?
Pengertian Mahasiswa adalah bagian kelompok masyarakat yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Kelompok ini sering juga disebut sebagai “Golongan intelektual muda” yang penuh bakat dan potensi dan dedikasi. Posisi yang demikian ini sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku dalam kehidupan masyarakat.
sejauh ini Peran mahasiswa senantiasa diwarnai oleh situasi politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara ideal biasanya memerankan diri sebagai “Oposan” yang kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mereka sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Pantas saja jika mahasiswa sebagai calon pemimpin dan penerus perjuangan masa depan ditantang untuk memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Jika gagal akan berdampak negatif pada masyarakat yang di pimpinnya; demikian pula sebaliknya. Dalam perubahan sosial yang dasyat saat ini, mahasiswa sering dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan dan dilematis. Suatu pilihan yang teramat sulit harus ditentukan, apakah ia terjun dalam arus perubahan sekaligus mencoba mengarahkan dan mengendalikan arah perubahan itu; ataukah sekedar menjadi pengamat dan penonton dari perubahan atau mungkin justru menjdi korban obyek sasaran dari perubahan yang dikendalikan oleh kelompok lain. Mahasiswa yang mewarnai perubahan social atau justru mahasiswa di warnai perubahan social.
Dari kenyataan diatas,mahasiswa memiliki posisi yang sangat berat namun sangat strategis dan sangat menentukan .berat bagi mereka yang pesimis terhadaap perubahan, strategis bagi mereka yamg mampu memerankan peran-peran sosial, Bukan zamannya lagi untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi;tetapi harus mewarnai perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut adalah benar-benar masyarkat yang adil dan makmur.
secara garis besar mahasiswa mempunyai tiga tanggung jawab social di bawah ini:
1.    mahasiswa bertanggungjawab sebagai “pelaku ” bagian dari masyarakat
Pengertiannya adalah mahasiswa harus langsung terjun ke masyarakat untuk mengetahui realitas permasalahan dan kebutuhan masyarakat, kemudian bersama dengan masyarakat mencoba untuk menyelesaikan dan memenuhinya.
2.    mahasiwa bertanggungjawab sebagai perantara
Asumsinya adalah mahasiswa menjadi perantara masyarakat yang miskin akses dan informasi dengan cara mengases program pemerintah serta mensosialisasikan program-program pemerintah dan juga segaligus sebagai pengontrol segala bentuk kebijakan dan jika terjadi penyimpangan yang dilakuakan pelaku pembuat kebijakan.
3.    mahasiswa bertanggungjawab sebagai agen of change
Kenapa dikatakan Pemuda/Mahasiswa Sebagai Agent Of Change karena Pemuda/Mahasiswa dapat berfungsi sebagai bagian dari masyarakat yang mampu mendorong, memotivasi, dan mempelopori terjadinya pembaharuan.
Selain itu, Pemuda/Mahasiswa juga sebagai bagian dari Masyarakat yang dinilai memiliki intlektual dan memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan Masyarakat pada umumnya karena lingkungan yang berbeda.
Sedangkan agent dapat diterjemahkan sebagai perantara atau perwakilan dari suatu Institusi/Lembaga. Sebagai Agent Of Change dapat dikatakan pula sebagai actor perantara atau perwakilan dari proses perubahan pada Masayarakat kearah yang lebih baik
Saat ini sebagian besar Mahasiswa hanya bergerak pada peran provokator saja, yang cenderung sudah tidak terlalu membuat perubahan yang berarti. Banyaknya aksi yang dipelopori oleh mahasiswa ternyata tidaklah membawa sebuah perubahan signifikan, bahkan terkesan arogan dan tidak menyentuh pada aspek yang lebih substansi.
Apa yang salah dengan hal tersebut. Tanggung jawab mahasiswa sebagai obat bagi masyarakat pun terlaksana hanya ketika ada program dari rektorat seperti Kuliah Kerja Mahasiswa, sisanya adalah kesibukan mahasiswa sendiri tanpa sebuah tujuan yang berarti.
Mahasiswa sebagai perantara program pemerintah juga wajib dipertanyakan. Selain dari kebijakan pemerintah yang tidak mendukung hal tersebut, ini juga disebabkan dari nilai tawar mahasiswa sendiri yang tidak pernah naik dalam segi kebutuhan pemerintah, sehingga wajar kita akan menjadi seperti mati di lumbung sendiri.
Menjadi “mahasiswa“ jangan pernah ragu, KERAGUAN hanya bisa di hilangkan dengan TINDAKAN.

Theology of Liberation

When talking about Liberation Theology will be a lot of pros cons place in society and in ourselves. As in the history of liberation theology from Latin America began in the mid-century ago, which many in the stretcher by the theologians are willing to distinguish between methods with the traditional theology of liberation theology. Traditional theology is a theology which deals with God alone, while the theology of liberation is a way of doing theology that comes from the reflection of faith in the midst of the concrete historical reality. Namely theology memprihatini fate and solidarity to those who suffer injustice, lost, poor, oppressed and victimized history; theology that would transform the world.On his way there are some Muslim figures who eventually also make a reduction or re-interpretation of his religion. Whether it be the history of religion, texts, laws and so forth. Okoh one of the most famous is Hasan Ali Shariati and agamnya Hanafi.Dalam understanding that not only discusses the problem of deity alone, or fiqi'ah laws concerning the procedures for worship, but religion is also supposed to discuss social issues and politics that in natural communities directly.Especially about poverty, injustice, greed and oppression done by the class (bourgeoisie) above against weak people (poor or proletarian). Theology although derived from the Scriptural text that revealed by God, most of the situational, contextual, and normative metaphysics. Militant spirit that stood out when it identifies itself with the oppressed"Why did you not fight in the way of Allah and defend the oppressed, men, women and children who said," Our Lord! Remove us from this town whose inhabitants do evil. Give us the protection and help from you (Sura 4:75)Liberation theology is a spiritual product. What to include in it a religious doctrine that really makes sense, Liberation Theology has contributed very greatly to the expansion and strengthening of these movements. The doctrine makes sense it has formed a radical shift from traditional teaching keagaman established. Some of the doctrine are: 1). The lawsuit moral and social dependence on very hard against capitalism as a system of unjust and oppressive, 2) use of analytical tools of Marxism in order to understand the causes of poverty, 3) a special option for the poor and solidarity to the struggle for their demands of freedom, 4 ) A new pembacan of religious texts, 5) Resistance against idolatry as the main enemy of religion 6) Criticism of traditional theology teradap double-faced as a result of Greek Platonic philosophy.In view of Ali Shariati that:Is not enough to suggest we should return to Islam. We must specify which one we mean Islam: Islam or Islamic Marwan Abu Zarr (bin. Affan), the ruler. Both are called Islamic, even though there are big differences between them. Of them is the Caliph of Islam's, and the ruler's palace. While the other is the Muslim people, they are exploited and poor. Furthermore, not enough valid by simply saying, that people should have a concern (concern) to the poor and oppressed. Corrupt caliph who said so. Islam is really more than just concern. True Islam ordered the faithful to fight for justice, equality and poverty eradication ".Because the power of religion was quite able to resist the tyranny of capitalism is now happening. But until now it remains a necessity, because there are many religious figures who are even more fun berasyik-ria discuss about death. But the religious leaders discuss just forget about life today. And it is so in love by the holders of tyranny, the bourgeois (capital). Because it can perpetuate their kekusaan without the nagging. Are we going to let him?

Senin, 05 Desember 2011

ASWAJA PMII


SekapurSirih

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid

PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.

Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan

Apa Itu Aswaja?

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in. yang biasa dikenal dengan golongan SUNNI

Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak menyebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Kapan sejarah munculnya Kelompok Aswaja?

Munculnya Aswaja dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah, sehingga ummat Islam terpecah kedalam berbagai golongan. Yaitu  Golongan Syi’ah, golongan Khawarij, dan  kelompok Jabariyah (yang melegitimasi Muawiyah). Serta golongan  Murjiah dan Qadariah (faham berlawanan dengan faham Jabariyah)

Selain itu ada komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), yang mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural), ilmiah, moderat, dan tidak ekstrim serta  tidak mudah mengkafirkan kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Pandangan Iman Hasan Bastri tersebut diteruskan oleh Abu Hanifah Al-Nu’man (150 H), Malik Ibn Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Kullab (204 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H), hingga Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (333 H). (dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun  benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya).

 Apa Serpirit Aswaja?

Pada intinya, ajaran Aswaja mengandung spirit sikap keberagaman dan kemasyarakatan, yaitu tawasuth dan I’tidal (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemunkaran) dengan mengedepankan kebajikan secara bijak, sehingga nilai-nilai syariat islam dapat dijalankan oleh masyarakat dengan  menyesuaikan kondisi setempat.

Aswaja menolak ajaran aqidah Islam garis keras. Seperti mu’tazilah  dan juga menolak kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin. Akan tetapi Aswaja selalu dapat menerima masukan dari dalam dan luar untuk mencapai kebaikan yg lebih utama, dengan kaidah “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). sehingga tidak pernah a priori terhadap tradisi, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan kebaikan dan juga memungkinkan bertindak selektif terhadap tradisi dengan kaidah “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).

 
Bagaimana Aswaja di Indonesia?

Nahdlatul ‘Ulama yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari adalah merupakan Ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja, yaitu  faham keagamaan yang menganut;

1.  bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi,

2. dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali),

3. Dibidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Pilihan Nahdlatul Ulama (NU) yang menganut Faham Aswaja ini diikuti oleh organisasi yang berada di bawah naungan NU dan juga organisasi lain yang beravikliasi kepasda NU

Aswaja itu sebagai Madzhab atau manhajul Fikr?

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, di tubuh Nahdlatul Ulama dan organisasi dibawah naungan NU,  pengertian Aswaja dianut sebagai madzhab, artinya seluruh penganut Aswaja menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud dalan Aswaja

Baru pada tahun 1994, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

Pengertia aswaja sebagai madzhab dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

Sehingga ahirnya,  tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
 
Aswaja Sebagai Manhajul Fikr di PMII

Pada  1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr  pandangan tersebut merupakan  hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.

PMII memandang bahwa Aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan perinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash  dengan penggunaan akal.
Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Perinsip Aswaja Sebagai Manhajul Fikr

Bidang Aqidah
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya dan ummat manusia harus meyakini bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT terahir, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia yang harus diikuti oleh setiap manusia

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan yang banyak beramal buruk akan masuk neraka

Perinsip Aswaja Sebagai Manhajul Fikr

Bidang Politik

Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

1.  Perinsip Musyawarah (Syuro)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan
2.  Perinsip  Kkeadilan (Al-Adlu)
3.  Peinsip kebebasan (Al-Hurriyyah) atau dikenal dengan perinsip lima (Al Ushulul Khoms) yang terdiri;
a.    Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); pemimpin (negara)  menjamin setiap warga negara untuk  hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b.    Hifzhu al-Din (menjaga agama); pemimpin(negara) menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya.
c.    Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); pemimpin (negara) menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya.
d.   Hifzhu al-Nasl; bahwa negara menjamin terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e.    Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya.
4.  Perinsip Kesamaan derajat (Al Musawah)
Negara harus mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya sebagai warga negara.

Bidang Istimbat Hukum (penganbilan hukum)

Aswaja menggunakan empat sumber dalam beristimbat hukum  yaitu: Al-Qur’an , As-Sunnah , Ijma’dan Qiyas
1.    Al-Qur’an sebagai sumber utama dan tertinggi dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukum)
2.    As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW yang  diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukum tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an
  1. Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad  pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
  2. Qiyas, adalah  hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

Bidang Tasawuf

Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”

Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah

Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

Penutup
Pada akhirnya setelah sahabat/i semua mengetahui Aswaja mulai dari sejarah kemunculan, konsep sampai spirit ajarannya. Sahabat/i dituntut agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Aswaja dalam konteks pergerakan dan kemasyarakatan. Artinya Aswaja tidak dipandang hanya dari segi pengetahuan akidah dan fiqh, namun lebih pada praktik sesungguhnya sebagai metode (manhaj) dalam bergerak

Salam Perrgerakan “Tangan terkepal dan maju kemuka”
Wallohu Muafiq Ila Aqwamit Thoriq Wassalamu ‘alaiku Wr. Wb